Festival Film Jepang akhirnya memberanikan memutar film documenter yang bercerita tentang perempuan yang mana dipaksa menjadi pekerja seks di zaman perang. Hal ini dilakukan setelah sebelumnya ada pro dan kontra seperti misalnya keputusan yang memicu kecaman, dan akhirnya sempat membatalkan pemutarannya.
Akhirnya Film tentang Budak Seks Jaman Perang diputar di Festival Film Jepang
Penyelenggara festival yang dihelat di Kawasaki itu menyatakan bahwa ada kemungkinan masalah keamanan terkait dengan pemutaran film itu. namun sekarang telah teratasi. Puluhan ribu ‘budak seks’ dari Asia, termasuk dari Indonesia, terpaksa bekerja di bordil militer Jepang.
Kelompok nasionalis Jepang menyangkap bahwa perempuan-perempuan ini dipaksa menjadi pekerja seks. Permulaan tahun ini, pameran tentang “budak seks” dipaksa harus ditutup selama kurang lebih 2 bulan karena muncul ancaman bakal dibakar.
Alasan dibalik Adanya Perubahan
Keputusan untuk tak memutar film itu diubah setelah “banyak pihak yang menyatakan siap memberikan bantuan untuk mengatasi kekhawatiran keamanan,” begitu lah kata seorang anggota dewan pelaksana pada kantor berita AFP. Beberapa sutradara yang mana terlibat dalam festival film juga mengecam rencana untuk tak memutarkan film tersebut. Salah satu sutradara malahan menarik filmnya sendiri dari festival sebagai bentuk protesnya.
Film dengan judul “Shusenjo: The Main Battelground of the Comfort Women Issue” sekarang ini dijadwalkan akan tayang di hari terakhir festival. Walaupun demikian, sebagian orang yang muncul di film tersebut telah mengajukan tuntutannya ke Pengadilan Negeri Tokyo. Mereka meminta ganti rugi dan juga mendesak agar film tersebut tak diputar.
Mereka mengatakan bahwa mereka bersedia muncul di documenter itu karena berpikir bahwa ini adalah bagian dari penelitian dan bukannya dalam merangka pembuatan film, itu laporan yang dikutip dari BBC Indonesia.
Mengenal Siapakah ‘Budak Seks’ Itu
Ahli sejarah sendiri memperkirakan bahwa ada 200.000 perempuan yang dipaksa bekerja di bordil untuk melayani tentar Jepang pada saat jaman penjajahan. Kebanyakan dari mereka asalnya dari Korea, namun juga ada yang dari Taiwan, Filipina, China dan Indonesia. sejumlah kelompok nasionalis Jepang pasalnya menyangkal pernyataan tersebut.
Mereka menegaskan bahwa tidak ada bukti tertulis bahwa militer Jepang pada saat itu memerintahkan perekrutan perempuan secara paksa. Masalah budak seks ini adala salah satu yang memantik pertikaian antara Jepang dengan sejumlah negara tetangga di Asia lainnya.
Tokyo sendiri menyatakan bahwa traktat 1965 yang mana memulihkan hubungan diplomatic lintas daftar dan pemberian bantuan keuangan Jepang lebih dari US$800 juta atau sebesar Rp. 11 Triliun untuk Korea Selatan tela menyelesaikan masalahnya. Di tahun 2015, Jepang juga sudah menandatangani persetujuannya dengan Korea Selatan untuk mengatasi persoalan ini.
Jepang meminta maaf dan berjanji pula untuk membayar 1 miliar yen atau setara dengan Rp. 129 miliar-jumlah yang diminta oleh Korsel- untuk para korban. Sejumlah pengecamnya juga mengatakan persetujuan dicapai tanpa adanya konsultasi dengan korban-korbannya.
Di Indonesia sendiri, perempuan dari Jawa pada saat itu dibawa ke garis depan peperangan, seperti misalnya ke Kalimantan, Maluku, Sulawesi, bahkan di Pulau Buru juga. Salah satunya adalah Sri Sukanti (80an tahun) yang saat itu baru berusia 9 tahun saat dibawa oleh tentara Jepang ke Gedung Papak, Purwodadi, Jateng.
“Wah, ayah saya semaput (pingsan) saya dibawa dikira mau dibunuh. Terus ada lagi teman saya sekolah, dikira mau dibunuh, ‘Jangan, saya saja, saya saja,’ kata Sri.